Tampilkan postingan dengan label miscellaneous. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label miscellaneous. Tampilkan semua postingan
4

Sejenak Bersama Seorang Pahlawan

| Selasa, Desember 29, 2009

“Teeeeet….teeeett!!!”. suara klakson mobil yang melaju pelan hampir saja menyenggol tubuhku yang menyelinap diantara kendaraan yang sedang macet. Aku terus berlari kecil, tak kuhiraukan omelan sopir angkot yang merasa terganggu ketika aku melintas di depan mobilnya. Sesekali aku melirik casio yang melingkar ditangan kiriku.

“Ah mudah-mudahan tidak telat.” fikirku.

Hari itu aku berencana pergi menghabiskan liburan akhir tahunku di tempat familiku di daerah Cilacap. Kroya, nama kota kecil yang kutuju. Kota yang telah lama sekali tidak aku kunjungi. Walaupun dulu aku juga bukan orang yang terlalu sering mengunjungi kota ini. Seingatku baru duakali Aku mengunjunginya. Pertama aketika aku masih kelas empat SD dan kedua ketikaku kelas dua SMU. Kini… aku telah kuliah tingkat empat. Ya waktu yang cukup lama. Astagfirullah.. mudah-mudahan Alllah mengampuniku, sepertinya aku termasuk orang yang terlalu menyibukan diri dan jarang bersilaturahmi kepada sanak famili. Aku masih teringat ketika pertama kali berkunjung ke kota ini, memang tidak ada yang eneh, paling-paling pantai Widarapayung dan pantai Srandil, bagi orang lain yang sering bepergian tempatnya mungkin tidak terlalu indah tapi bagiku tidak. Semua pantai indah sepertihalnya pantai -pantai lain yang terkenal dan telah memperoleh sentuhan dari para investor. Ya bagiku yang tinggal di daerah yang jauh dari laut, semua pantai adalah indah, tanpa terkecuali kedua pantai itu.

“Alhamdulillah keretanya belum berangkat.” Gumanku dalam hati.

“Tiketnya satu Mbak.” Kataku kepada wanita petugas loket tiket perjalanan. Biasanya aku jika memasuki tempat yang jarang aku datangi, aku selalu menyempatkan diri melihat-lihat di sekitarnya.Tapi kali ini karena telat, tanpa basa-basi aku langsung membeli tiket kereta perjalanan kelas Rakyat …kelas ekonomi.

Suasana stasiun Kereta Kiaracondong tampak dijejjali oleh para penumpang dan pedagang asongan.

Bergegas aku memasuki pintu masuk Stasiun dan menyodorkan potongan kertas kecil tiket kepada salah seorang penjaga pintu masuk. “Maaf Pak ,,kereta yang ke Kroya yang mana?” tanyaku agak bingung, sebab didepanku ada dua kereta yang siap berangkat.

“Itu di jalur tiga, cepat naik sepertinya mau berangkat!” jawab petugas pintu itu sambil menunjuk kereta yang dia katakana. Lengkingan suara lokomotif tanda kereta akan segera diberangkatkan terdengar begitu keras memekakan telinga. Aku segera meloncat menaiki gerbong kedua.

“Nak disini…!” kata seorang Bapak tua yang tempat duduknya berada hanya beberapa meter dari tempatku berdiri. Aku menghampirinya dan mengambil tempat duduk tepat disisi jendela. Sambil tersenyum kuucapkan terima kasih.

“Alhamdulillah akhirnya dapat tempat duduk juga,” aku bersyukur dalam hati. Sesaat Aku memperhatikan suasana dalam gerbong kereta tempat ku berada. Suasana memang agak terlihat kumuh. Para pedagang asongangan berlalu lalang disepanjang gerbong kereta menawarkan dagangannya. Ada yang menawarkan dengan lemah lembut, ada yang setengah memaksa, ada juga seperti orang butuh ngak butuh sama pembelinya, mungkin dia sudah cukup capek menjajakan jualannya. Beberapa pengemis dan pengamen juga terlihat ikut berbaur degan para pedagang. Maklumlah kereta kelas ekonomi. Kereta buat rakyat kecil yang tidak mampu.

“Hai kamana wae yeuh? (kemarin kemana aja nih?)” teriak salah seorang pedagang dengan logat sundanya yang kental ketika berpapasan dengan teman seprofesinya.

“Eh…kamarimah pere’ heula cape’ (kemarin libur dulu nih)”. jawab si pedagang yang ditanya sambil tetap mengasong-asongkan dagangannya kepada para penumpang. Sesekali aku tersenyum dalam hati melihat tingkah laku para pedagang dan penumpang yang saling tawar menawar harga atau gerutuan penumpang yang meras terganggu oleh para pedagang. …yah pemandangan orang kecil yang tidak pernah aku temui dikampus. Sepertinya benar apa yang pernah dikatakan salah seorang ustadz bahwa sesekali kita sebaiknya bepergian ketempat lain agar kita tidak merasakan kejenuhan hidup.

“Jeruknya Pak ,mas!” tawar seorang padagang asongan menawarkan buah jeruk yang didagangkannya. “Ndak pak” jawab laki-laki disampingku . Aku hanya tersenyum dan mengangkat tanganku setengah, menandangan penolakan secara halus atas tawaran padagang tersebut. Padagang yang usianya sepertinya sudah cukup tua itu hanya balik tersenyum.

“Ini manis lho mas, boleh coba dulu kalau mas nggak percaya”. Tawar lelaki itu kembali untuk meyakinkanku dengan logat jawanya yang kental. Tanganku menerima beberapa potongbuah jeruk yang dia tawarkan dan memakannya. Setelah menanyakan harga segera aku mengeluarkan uang untuk membayarnya. Sebenarnya Aku ingin membeli jeruk yang tawarkan oleh laki-laki tua itu bukan karena aku ingin makan buah jeruk, tetapi lebih kepada perasaan ibaku melihat kondisi fisik lelaki tua itu. Lelaki tua berjalan pincang dengan bola mata kirinya yang tampak pemutih tanda sudah tidak bisa lagi dipakai untuk melihat. Guratan wajah tuanya sepertinya menampakan banyaknya pengalaman hidup.

“Priiiiiit…….priiiiiiiit “. terdengar suara peluit petugas pemberangkatan, diikuti oleh lengkingan suara lokomotif. Sementara information center juga memberikan pengumuman bahwa kereta ekonomi jurusan kroya segera di berangkatkan. Beberapa pedagang asongan segera berhamburan keluar dari pintu gerbong, sementara yang lain tanpa terpengaruh sedikitpun tetap menjajakan dagangannya. Aku perlahan mengucapkan basmalah bersamaan dengan Kereta yang mulai melaju. “Bismillahirrahmaanirrahiim…..”

***

Gesekan besi baja roda dengan rel kereta seakan menjadi nada-nada lagu unik yang tengah aku nikmati. Suaranya seakan ikut mengiringi fikiranku yang tengah mengagumi indahnya pemandangan alam selepas kota Bandung. Hamparan sawah, kolam ikan serta rawa-rawa dan hutan hijau seolah-olah saling berbicara satu sama lainnya. Sepertinya waktu itu aku lupa kalau kota Bandungku sering dihiasi oleh kesumpekan orang-orang yang memadati mall-mall serta jalanan yang kini kian tambah macet disana-sini.

“Nak, mau kemana?” suara seorang laki-laki yang duduk di samping membuyarkan fikiranku yang tengah menerawang jauh.

“Ooh.. mm.. mau ke Kroya pak. Bapak mau kemana?” jawabku singkat, sambil balik bertanya sekedar menutupi rasa kagetku.

“Saya mau ke Sidareja. Liburan!? Mau kesiapa? baru pertama naik kereta ya?“ kembali lelaki itu bertanya, kali ini beberapa pertayaan langsung seakan ingin menghapus di kesunyian diantara penumpang lain yang ada didepan kami.

“Iya pak saya sudah lama tidak naik kereta. Saya mau liburan dirumah Pak lesaya di Kroya”

Aku akhirnya larut dengan obrolan bersama lelaki itu, bahkan dua penunpang lain yang ada di depan kami ikut menimpali pembicaraan kami. Kami membucarakan banyak hal seputar sulitnya perekonomian di negara ini hingga ke masalah politik. Aku sebenarnya enggan membicarakan masalah-masalah tersebut. Jenuh. Itukan sudah sering aku bicarakan dikampus. Tapi aku mencoba tetap mengikuti pembicaraan sekedar untuk menghargai sesama penumpang. Sesekali aku menengokan kepalaku ke luar jendela untuk melihat pemandangan alam. Dalam sebuah lengkungan belokan aku bisa melihat ujung belakang kereta yang kunaiki. Berulangkali aku bertasbih mengagumi indahnya ciptaan ilahi.

***

Suasana senja mulai menghiasi pemandangan diluar. Kereta yang kutunggangi masih tetap melaju sambil sesekali meringkik berbunyi. Suasana pedesaan jawa tengah mulai terlihat. Sepertinya kereta api yang ku naiki telah melalui perbatasan Jawa Tengah dan Jawa Barat. Aku menikmati betul suasana pergantian siang dan malam di luar sana. Guratan lembayung serta lampu-lampu rumah mulai menghiasi alam diluar. Suasana di dalam kereta sedikit sepi. Mungkin para pedagang pun tahu kalau waktu sesaat lagi akan memasuki waktu maghrib. Sebagian penumpang juga sudah banyak yang turun di stasiun-stasiun kecil yang tadi dilalui.

“Alhamdulillah…” tanpa terasa bibirku mengucapkan kalimat hamdhalah ketika suara adzan maghrib mulai terdengar dari segenap penjuru pandang yang kutatap. Tiba-tiba aku teringat masjid kecil disamping rumahku yang biasa aku datangi pada saat petang seperti ini untuk shalat maghrib. Ah sepertinya aku harus men-jamashalat maghribku.

Lampu-lampu didalam ruangan gerbong satu persatu mulai menyala. Kini tinggal aku duduk sendiri diantara dua buah bangku kereta yang saling berhadapan.

“Turun dimana mas?”

Aku agak terperanjat mendengar suara berat menyapaku.

“Mm... turun di Kroya pak. Bapak turun dimana?” pertanyaan konyol sebenarnya, sebab aku tahu sebenarnya yang bertanya padaku adalah laki-laki tua yang tadi sore menawarkan jeruk dagangannya, hanya saja karena kaget sehingga pertanyaan itu yang keluar dari mulutku.

“Ooh.. saya.. saya turun dimana kereta ini berhenti.” Laki-laki tua itu kemudian duduk dibangku seberang ,disamping tempat dudukku, sambil meletakan dus yang berisi beberapa buah jeruk lagi, laki-laki tua itu kembali bertanya “Mas baru datang kesini ya?”

“Iya pak saya sudah lama tidak main ke Kroya. Saya dari Bandung pak. Bapak asli mana?” aku menjawab dan balik bertanya seolah tidak mau kalah supel.

“Saya asli dari Kroya, lengkapnya lahir dan besar di kroya dan tua di kereta...” Laki-laki tua itu menjawab pertanyaanku dengan diakhiri kekeh tawanya.

“Bapak sudah lama berjualan di kereta?” aku tertarik dengan jawaban singkatnya.

“Sudah sepuluh tahun bapak berjualan di kereta ya sekedar untuk mencari makan. Kadang siang bapak baru menemukan makan, kadang bahkan sampai malam. Tapi itulah... yah namanya juga hidup. Semuanya butuh perjuangan”. Laki-laki tua itu kembali terkekeh.

Aku terus menyimak cerita-cerita laki-laki tua itu. Sesekali aku mengagguk-anggukan kepalaku. Sorot matanya kanannya terlihat tajam menerawang jauh. Seakan ingin menembus waktu yang telah ia lalui saat ini.

Dari ceritanya aku mengetahui bahwa laki-laki tua ini dahulunya adalah seorang rakyat sipil yang pernah ikut berjuang mempertahankan kemerdekaan dari kaum penjajah. Ia bercerita betapa beratnya hidup yang harus dijalani ketika itu. Meskipun dia bukan tentara, dia rela mangorbankan hidupnya untuk turut bergerilya bersama para pejuang untuk mengusir para penjajah.

Aku larut dalam cerita yang dibawakan oleh laki-laki tua itu. Fikiranku seakan ikut masuk kedalam fikirannya, menerawang jauh kemasa dimana negeri ini tengah mengalami penjajahan. Diam-diam aku mengagumi sosok tua disampingku yang tanpa pamrih telah berjasa besar pada negeri ini.

“Pikiran Bapak waktu itu adalah bukan kepada uang dan jabatan. Tapi Bapak lebik memikirkan bagaimana secepat mungkin negeri ini bisa merdeka.”

Aku semakin tertarik dengan cerita-cerita heroik yang diceritakannya. Ia mengatakan bahwa mata kirinya yang buta adalah akibat dari pecahan logam bom yang dijatuhkan dari pesawat sekutu. Begitu pula kaki kanannya yang saat ini tidak bisa dipakai berjalan dengan normal adalah akibat dari lemparan granat seorang ketika sedang melakukan sebuah serbuan ke sebuah markas tentara sekutu. Ia bahkan mengaitkan bahwa kehidupannya yang lekat dengan kereta api. Waktu itu ia sering berpindah-pindah mengungsi dengan kereta api untuk menghindari tentara sekutu, bahkan disekitar stasiun kereta Kroya, dahulu tentara sekutu sering menjatuhkan bom-bom pesawatnya.

“Lalu mengapa bapak sekarang hanya hidup dengan berjualan jeruk di kereta api? Apakah tidak ada penghargaan dari pemerintah atas perjuangan bapak? Apa bapak tidak pernah menuntutnya?”

Saking semangatnya aku memberondongkan pertanyaan kepada laki-laki tua itu.

Sesaat hening terasa. Aku merasa agak bersalah. Takut kalau-kalu pertanyaanku terlalu menyelidik.

“ Dulu banyak teman-teman bapak dari kalangan rakyat kecil yang pernah ikut berjuang diberikan penghargaan oleh pemerintah dengan dimasukan sebagai anggota militer. Tapi Bapak.... entahlah. Waktu itu nama bapak bukan yang termasuk kedalam daftar panggil yang akan diberi penghargaan. Biarlah mas.. waktu itu bapak sudah cukup senang bisa melihat bangsa ini merdeka.”

Aku terdiam mendengar jawaban laki-laki tua itu. Hatiku pun kini cukup miris jika mengingat pergaulan dan tingkah laku remaja saat ini yang tidak lagi mewujudkan rasa syukur atas nikmat kemerdekaan yang telah diberikan oleh Allah. Mereka kebanyakan hanya menghabiskan waktu hanya untuk nongkrong-nongkrong di mall, tawuran atau berfoya-foya di dalam pesta yang bernuansakan kemaksiatan.

“Bagaimana dengan keluarga bapak saat ini?”

Aku bertanya lirih. Takut kalau pertanyaanku kembali menyinggung perasaannya.

Laki-laki tua itu menarik nafas dalam-dalam. Aku tahu walaupun ruangan gerbong saat itu tidak terlalu terang oleh cahaya lampu, tapi aku bisa melihat sekilas kilapan air bening yang meleleh di ujung sela matanya. Tanpa terasa mataku ikut berkaca-kaca. Haru.

“Bapak dulu mempunyai keluarga. Istri bapak seorang pedagang sayuran dipasar mingguan. Anak bapak dua, laki-laki semua. Suatu saat dalam sebuah serangan udara, bapak mencoba berlari untuk menyelamatkan anak bapak yang masih kecil dari serang pesawat sekutu. Waktu itulah bapak berpisah dengan istri bapak yang pergi mengungsi dengan membawa anak bapak yang masih berusia tujuh tahun. Sementara anak yang paling kecil yang bapak bawa ternyata harus meninggal karena terserang diare.”

Laki-laki tua itu diam sesaat sambil menyeka air mata dengan ujung bajunya. Ia terlihat ingin mencoba menenangkan dirinya.

“....Beberapa tahun kemudian bapak mendengar bahwa istri bapak juga meninggal dipengungsian akibat sakit TBC yang dideritanya. Sementara anak bapak yang dibawa olehnya kata salah seorang teman bapak telah diambil sebagai anak pungut oleh salah seorang warga keturunan china yang ikut mengungsi.”

“Bapak tahu dimana anak bapak itu sekarang berada?”, aku bertanya singkat.

“Bapak sudah mencari kemana-mana. Pernah suatu saat bapak mendengar bahwa warga cina yang memungut anak bapak itu kini tinggal di kota Cilacap. Bapak waktu itu langsung mencari alamatnya dan langsung mendatanginya.”

“ Bapak bertemu... ?” ucapku tanpa menyelesaikan pentanyaan.

“Ya waktu itu bapak melihat seorang pemuda yang mirip sekali dengan bapak waktu muda......”

Suara laki-laki tua itu terdengar menyerak menahan tangis. Aku mengusap air hangat yang satu persatu mulai membasahi pipiku.

“....bapak waktu itu tidak cukup kuat untuk mengatakan bahwa bapak adalah ayahnya. Bapak malah berkata bahwa kedatangan bapak hanya sekedar ingin menawarkan dagangan jeruk bapak.”

Laki-laki tua itu mengakhiri ceritanya dengan tawa kekeh pelannya persis seperti yang pertama kudengar.

“Sudahlah mas, bapak memang jarang menceritakan hal ini kepada orang lain. Bapak memang suka terbawa emosi kalau bercerita tentang masa lalu bapak. Biarlah......sekarang pun bapak telah cukup hidup dengan tenang...ini juga kan nikmat dari Gusti Allah yang harus bapak syukuri. Bapak sekarang ingin beristirahat dengan tenang”

Aku terdiam....laki-laki tua itu juga terdiam....

Aku tahu dari tarikan nafasnya, bahwa kata-kata terakhirnya tadi hanya sekedar untuk menenangkan dirinya. Tapi sesaat kemudian aku telah melihat laki-laki tua itu telah tertidur pulas. Mungkin dia capek setelah seharian berjalan diantara gerbong-gerbong kereta dengan membawa dagangannya.

Para penumpang tampaknya mulai terlelap dengan tidurnya. Kebanyakan diantara mereka sepertinya mempunyai tujuan yang sama denganku ke kota Kroya. Satu jam setengah lagi kereta ini akan tiba ditujuan terakhirnya. Kota Kroya.

***

Sebenarnya mataku tidak tertutup karena tertidur. Mungkin aku masih terpengaruh oleh cerita laki-laki tua disampingku. Sungguh baru pertama kali ini aku mendengar cerita yang mengharukan dari orangnya langsung. Dalam hati aku tertawa sinis jika mencoba membandingkannya dengan cerita-cerita cengeng remaja seputar tentang cinta yang suka ada di TV-TV.

“Tooooooot….tooooooot” suara lokomotif kereta terdengar begitu keras. Aku segera berdiri mengambil tas ranselku yang kusimpan diatas rak tepat dimanan aku tadi duduk. Kulirik jam tangan yang melingkar dipergelangan tangan kiriku “ jam sembilan malam kurang lima...”

Para penumpang satu persatu mulai menuruni gerbong kereta api, banyak diantara mereka yang langsung disambut oleh para tukang becak yang berebut membawa barang bawaan para penumpang.

Beberapa langkah menuju kepintu gerbong kereta aku teringat laki-laki tua yang tadi bercerita kepadaku. Aku membalikan tubuhku melangkah kearah laki-laki tua itu. Sekilas aku lihat tadi dia masih tertidur. Aku hanya ingin mengucapkan terima kasih atas ceritanya yang syarat dengan hikmah.

“Pak-pak!, sudah sampai ...” aku mencoba menepuk pundak laki-laki tua itu. Tapi laki-laki tua itu tak sedikitpun bergerak. Fikirku mungkin dia sangat kelelahan sehingga tertidur pulas. Tapi perasaanku menjadi tidak enak ketika beberapa kali tepukan tanganku tidak memberikan reaksi apa-apa pada laki-laki tua itu.

“Pak.. pak...!!!” tanganku kini memegang bahu laki-laki tua itu. Bahkan kini aku menguncang-guncangkan tubuhnya dengan keras sambil memegang tangan laki-laki tua itu. Tetap sepi.....

Mataku memanas. Suaraku terasa berat. Aku mencoba menarik nafas menenangkan diri seraya mengucapkan “innalillahi wainna ilahi rajiuun”. Aku meletakan tas ransel yang tadi telah kugendong dan kemudian berlari kearah pintu gerbong untuk memanggil orang yang berada tidak jauk dari tempatku berdiri. Beberapa pedagang asongan dan penumpang lain yang masih ada di sekitar gerbong tempat aku berdiri memanggil segera berdatangan menghampiriku dan menaiki pintu gerbong tempat aku berdiri.

Setelah beberapa kali oarang-orang tersebut mencoba membangunkan laki-laki tua itu, mereka kemudian mengangkat tubuh laki-laki tua itu keluar gerbong. Diluar ternyata telah banyak orang berkerumun sekedar ingin mengetahui tentang apa yang terjadi. Sesaat walaupun aku tidak begitu mengerti akan bahasa percakapan mereka, aku bisa tahu bahwa mereka mengatakan laki-laki tua pedagang jeruk itu telah meninggal.

Aku masih terduduk lemas ditepian jalur rel kereta. Mataku sedari dari telah lembab oleh air mata. Aku memang tidak begitu menghiraukan beberapaorang yang memperhatikanku. Sesaat aku berdiri mengambil tasku dan melangkah pergi. Selamat beristirahat dengan tenang... itukan yang kau katakan tadi sebelum tidur panjangmu. Biarkan orang lain mengatakan bahwa kau hanyalah seorang lelaki tua dengan kaki pincang dan mata buta sebelah....., tapi aku menganggapmu sebagai seorang pejuang sejati. Biarlah orang lain menganggapmu sebagai seorang laki-laki tua pedagang buah jeruk...., tapi aku menganggapmu sebagai seorang pahlawan sejati...... Tapi siapakah kau....siapakah kau pahlawan sejati.............

Agus Nugroho (Kroya, Akhir tahun 2002) ~ Untuk para pahlawan...

4

Scenes From A Memory (Dream Theater, 1999)

| Selasa, Desember 22, 2009

Seorang pria bernama Nicholas, belakangan ini mendapat mimpi-mimpi buruk yang yang memperlihatkan gambaran seorang wanita bernama Victoria dan kejadian pembunuhan. Nicholas menemui seorang psikoterapist untuk menghipnotisnya ke alam mimpi dan melihat kehidupan wanita tersebut yang seakan sangat nyata seperti kehidupan miliknya sendiri. Setelah dihipnotis Nicholas mulai lebih jelas bahkan dapat berkomunikasi dengan wanita tersebut.

Wanita yang bernama Victoria tersebut ingin menyampaikan sesuatu kepada Nicholas, suatu kejadian tentang dirinya pada tahun 1928 yang belum terkuak kebenarannya. Nicholas merasa entah bagaimana kehidupan Victoria sangat terkait dengan kehidupan nyata yang dijalaninya. Maka dia bertekad menemukan kebenarannya lewat mimpi-mimpinya agar dapat hidup tenang lagi.

Pada mimpi selanjutnya Nicholas bertemu dengan seorang pria tua yang memberikan informasi bahwa telah terjadi pembunuhan terhadap seorang wanita yang tak lain adalah Victoria yang belum terkuak kebenarannya sampai saat ini. Dari poin ini Nicholas mulai mengerti bahwa Victoria ingin Nicholas mengerti apa yang sebenarnya terjadi pada dirinya. Kemudian Nicholas menemukan sebuah koran yang memberitakan pembunuhan Victoria. Seorang saksi mata bernama Edward bercerita bahwa dia menemukan sang gadis ditembak mati dan kemudian penembaknya yang bernama Julian bunuh diri. Diberitakan bahwa insiden itu terkait dengan cinta segitiga. Tapi ada hal aneh dimana Julian menulis kata-kata “rather kill himself than live without Victoria“, sedangkan di tangan Victoria ditemukan sebilah pisau. Nicholas semakin mengerti ceritanya tetapi tahu masih ada yang tidak beres. Ia mengunjungi makam Victoria dan entah kenapa merasa sangat sedih akan insiden yang dialami Victoria.

Mimpi selanjutnya menceritakan bahwa Julian dan Victoria saling mencintai, akan tetapi saat ini Victoria sedang menjalin hubungan dengan Edward kakak Julian. Victoria semakin menjauh dari Edward dan mulai terjadi perselingkuhan antara Victoria dan Julian. Victoria khawatir seandainya Edward tahu tentang hal ini dia akan berbuat nekat membunuh adiknya.

Pada suatu malam Edward mengikuti Victoria dan menemukan dia bersama Julian sedang bercinta. Edward langsung kalut dan mencabut pistol. Julian dan Victoria berusaha melarikan diri dan Julian menghunus sebilah pisau. Akhirnya Edward menembak mati Julian dan Victoria. Sebelum menembak mati Victoria Edward berkata : “OPEN YOUR EYES VICTORIA!!!“. Kemudiani Edward yang seorang politikus ternama pada zaman itu memodifikasi TKP dengan meletakkan pisau di tangan Victoria dan pistol di tangan Julian. Kemudian di dekat mayat Julian ia tuliskan dalam selembar kertas bahwa Julian putus asa cintanya ditolak Victoria dan memutuskan untuk membunuh Victoria dan dirinya sendiri karena dia lebih baik mati daripada hidup sendiri. Dengan bukti-bukti tersebut Edward bebas dari dugaan pembunuhan karena dia juga mengaku sebagai saksi pembunuhan tersebut.

Nicholas yang telah mengetahui cerita yang sebenarnya akhirnya pun menyadari bahwa dirinya adalah reinkarnasi dari Victoria, makanya dirinya merasa sangat dekat dengan Victoria. Nicholas pun tidak bermimpi hal-hal aneh lagi. Kemudian Nicholas pulang ke rumahnya dengan tenang. Akan tetapi, di rumahnya telah ada seseorang dan seseorang tersebut adalah sang psikoterapist. Nicholas terkejut saat sang psikoterapist berkata : “OPEN YOUR EYES NICHOLAS!!!” (sang psikoterapist adalah reinkarnasi Edward !!)

***

kisah ini dibuat oleh dream theater untuk menyusun album konsep mereka yang berjudulMetropolis part2: Scenes From A Memory(1999). Album ini juga sambungan dari sebuah lagu yang berjudul Metropolis part1: The Miracle and The Sleeper (Images And Word - 1992)

0

Don't think you can't be save...

|

Jam di handphoneku sudah menunjukkan pukul 17.10 WIB. Aku tahu ini memang sudah terlalu sore untuk pulang jika tidak ingin dihadang kemacetan lalu lintas. Aku segera berdiri dan lansung menuju operator untuk membayar bill pemakaian. “Berapa?” tanyaku seperti biasanya. “Tiga ribu rupiah” jawabnya tak lama setelah melihat tagihanku yang tertera di layar komputernya. Tanpa pikir panjang, aku lansung memberikan tiga ribu rupiah tersebut dan keluar dari warnet tersebut. Sambil memasang sepatu, aku selalu memperhatikan sekitar. Tidak seperti biasanya. Ternyata hanya kami berdua (aku dan temanku yang masih main di warnet) saja siswa shift pagi yang masi berada di dekat lingkungan sekolah.

Saat sudah diatas angkot (angkutan kota). Aku sedikit kecewa karena didalam angkot ini hanya ada aku dan supirnya. “Bisa tambah lama nih sampai dirumah” pikirku dalam hati karena angkot ini bisa saja ngetem di RSUP. Tak lama kemudian, Naiklah seorang nenek yang ingin pergi ke pasar. “sama saja...” pikirku lagi.

Jalan yang sempit dan ditambah dengan pusat-pusat pendidikan dan perkantoran menambah semrawutnya lalu lintas di daerah ini. Seharusnya disini dibuat jalan layang untuk menghindari kemacetan. Ingin sekali untuk melakukannya jika aku menjadi Wali Kota Padang, tetapi jabatan itu bukan merupakan cita-citaku.

Angkot ini berjalan semakin lambat karena macet. Hal yang paling aku benci dalam perjalanan. “aneh... kenapa dia (supir angkot) menggantung koplingnya di tempat dan kondisi seperti ini?” pikirku dalam hati sambil melihat kearah kaki kirinya. Tiba-tiba saja hentakan keras membuatku terkejut. Membantingku kedepan dan belakang. Nenek yang naik setelahku tadi lansung terduduk di lantai mobil saat hentakan itu terjadi. Ia pun membaca kalimat istighfar secara terus-menerus.

“Gempa” aku sedikit bergumam saat sadar bahwa ini adalah gempa. Yang pertama kali terlihat saat itu ialah air di selokan yang lumayan besar, tetapi percikan airnya tinggi sekali. Lalu aku melihat gerobak gorengan yang masih terbanting walaupun sudah rebah sembilan puluh derjat. Orang-orang terduduk di tanah. Tidak ada satupun diantara mereka yang mampu berdiri. Begitu juga para pengendara sepeda motor. Asap-asap kebakaran yang hitam pekat menyelimuti udara. Setelah melihat itu semua, aku sedikit bergimam lagi “Besar Sekali...”

Saat gempa sudah berhenti, semua orang terdiam selama beberapa detik. Lalu mereka sibuk menyelamatkan diri masing-masing tanpa terlalu mempedulikan barang bawaan mereka. Termasuk angkot yang saya tumpangi tersebut. Karena putar arah, terpaksa aku turun di tempat itu dan berjalan kaki untuk sampai dirumah. Selalu kucoba untuk menghubungi keluargaku yang ada dirumah, tetapi gagal.

Perjalanan yang harus kutempuh dengan jalan kaki lumayan jauh. Dari Fakultas Kedokteran UNAND sampai Asrama NI-AD Parak Pisang. Suara knalpot kendaraan, tangisan, dan pekikan orang-orang menambah paniknya suasana. Tetapi untung saja aku masih bisa tenang disaat-saat seperti itu.

Tak lama setelah itu, gempa dengan skala kecil kembali mengguncang

***

"Pa, isan sudah pulang” teriak kakakku (Nila Husandi, saudara perempuanku) ketika melihatku datang. “Siapa aja yang ada dirumah? Mana mama?” tanyaku. “Lihat saja. Tadi ada Da Ipo (Rivo Husandi, saudaraku yang paling tua), tapi tadi dia nyari kamu karna blum pulang. Mama kan ke Pekanbaru, baru berangkat minggu kmaren, lupa ya?”. “Eh...”. Sejenak aku terdiam, dan lansung masuk ke dalam rumah untuk melihat keadaan dan mengambil barang yang harus diselamatkan.

Rumahku berantakan. Untuk masuk kedalam harus menggunakan sendal. Lemari yang biasanya digunakan untuk menyimpan sambal dan makanan lainnya jatuh dan ditahan oleh meja makan. Dibawahnya pecahan piring, minyak, air, kuah makanan, botol-botol sirup sisa Idul Fitri bercampur aduk di lantai. Di sisi lainnya, pecahan kaca dari lampu semprong juga berserakan. Lemari televisi juga bergeser ke tengah. Lantai kamarku penuh dengan kertas-kertas. Dan kipas angin yang berada diatas lemari jatuh kebawah.

Aku sempat merasa tidak yakin bahwa semuanya akan kembali seperti semula secepat ini. Pagar rumahku runtuh. Dinding belakang juga bernasib sama. Alhasil, beberapa ruangan dirumahku tidak memiliki pembatas dengan pekarangan tetangga yang berada dibelakan rumahku. Semuanya lepas dan tak berbatas. Debu pasir dari bangunan belanda yang roboh di belakang rumahku masuk kedalam rumah. Kotor sekali...

6

Chairil Anwar

| Rabu, Desember 09, 2009
CHAIRIL ANWAR lahir di Medan, Sumatera Utara pada 26 Juli 1922, meninggal di Jakarta tanggal 28 April 1949 pada umur 26 tahu. Chairil Anwar dikenal sebagai "Si Binatang Jalang" (dalam karyanya berjudul Aku). Ia adalah penyair terkemuka Indonesia. Bersama Asrul Sani dan Rivai Apin, ia dinobatkan oleh H.B. Jassin sebagai pelopor Angkatan '45 dan puisi modern Indonesia.

Masa Kecil
Dilahirkan di Medan, Chairil Anwar merupakan anak tunggal. Ayahnya bernama Toeloes, mantan bupati Indragiri Riau, berasal dari nagari Taeh Baruah, Limapuluh Kota, Sumatra Barat. Sedangkan dari pihak ibunya, Saleha yang berasal dari nagari Situjuh, Limapuluh Kota dia masih punya pertalian keluarga dengan Sutan Sjahrir, Perdana Menteri pertama Indonesia. Chairil masuk sekolah Holland Indische school (HIS), sekolah dasar untuk orang-orang pribumi waktu penjajah Belanda. Dia kemudian meneruskan pendidikannya di Meer Uitgebreid Lager Onderwijs, sekolah menengah pertama belanda, tetapi dia keluar sebelum lulus. Dia mulai untuk menulis sebagai seorang remaja tetapi tak satupun puisi awalnya yang ditemukan.
Pada usia sembilan belas tahun, setelah perceraian orang-tuanya, Chairil pindah dengan ibunya ke Jakarta di mana dia berkenalan dengan dunia sastera. Meskipun pendidikannya tak selesai, Chairil menguasai bahasa Inggris, bahasa Belanda dan bahasa Jerman, dan dia mengisi jam-jamnya dengan membaca pengarang internasional ternama, seperti: Rainer M. Rilke, W.H. Auden, Archibald MacLeish, H. Marsman, J. Slaurhoff dan Edgar du Perron. Penulis-penulis ini sangat mempengaruhi tulisannya dan secara tidak langsung mempengaruhi puisi tatanan kesusasteraan Indonesia.

Masa Dewasa
Nama Chairil mulai terkenal dalam dunia sastera setelah pemuatan tulisannya di "Majalah Nisan" pada tahun 1942, pada saat itu dia baru berusia dua puluh tahun. Hampir semua puisi-puisi yang dia tulis merujuk pada kematian. Chairil ketika menjadi penyiar radio Jepang di Jakarta jatuh cinta pada Sri Ayati tetapi hingga akhir hayatnya Chairil tidak memiliki keberanian untuk mengungkapkannya. Semua tulisannya yang asli, modifikasi, atau yang diduga diciplak dikompilasi dalam tiga buku : Deru Campur Debu (1949); Kerikil Tajam Yang Terampas dan Yang Putus (1949); dan Tiga Menguak Takdir (1950, kumpulan puisi dengan Asrul Sani dan Rivai Apin).

Akhir Hidup
Vitalitas puitis Chairil tidak pernah diimbangi kondisi fisiknya, yang bertambah lemah akibat gaya hidupnya yang semrawut. Sebelum dia bisa menginjak usia dua puluh tujuh tahun, dia sudah kena sejumlah penyakit. Chairil Anwar meninggal dalam usia muda karena penyakit TBC. Dia dikuburkan di Taman Pemakaman Umum Karet Bivak, Jakarta. Makamnya diziarahi oleh ribuan pengagumnya dari zaman ke zaman. Hari meninggalnya juga selalu diperingati sebagai Hari Chairil Anwar.

dikutip dari wikipedia.org
9

Haji Abdul Malik Karim Amrullah (HAMKA)

| Kamis, Desember 03, 2009
HAMKA (1908-1981), adalah akronim kepada nama sebenar Haji Abdul Malik bin Abdul Karim Amrullah. Ia adalah seorang ulama, aktivis politik dan penulis Indonesia yang amat terkenal di alam Nusantara. Ia lahir pada 17 Februari 1908 di kampung Molek, Maninjau, Sumatera Barat, Indonesia. Ayahnya ialah Syeikh Abdul Karim bin Amrullah atau dikenali sebagai Haji Rasul, seorang pelopor Gerakan Islah (tajdid) di Minangkabau, sekembalinya dari Makkah pada tahun 1906.

Hamka mendapat pendidikan rendah di Sekolah Dasar Maninjau sehingga kelas dua. Ketika usia HAMKA mencapai 10 tahun, ayahnya telah mendirikan Sumatera Thawalib di Padang Panjang. Di situ Hamka mempelajari agama dan mendalami bahasa Arab. Hamka juga pernah mengikuti pengajaran agama di surau dan masjid yang diberikan ulama terkenal seperti Syeikh Ibrahim Musa, Syeikh Ahmad Rasyid, Sutan Mansur, R.M. Surjopranoto dan Ki Bagus Hadikusumo.
Hamka mula-mula bekerja sebagai guru agama pada tahun 1927 di Perkebunan Tebing Tinggi, Medan dan guru agama di Padang Panjang pada tahun 1929. Hamka kemudian dilantik sebagai dosen di Universitas Islam, Jakarta dan Universitas Muhammadiyah, Padang Panjang dari tahun 1957 hingga tahun 1958. Setelah itu, beliau diangkat menjadi rektor Perguruan Tinggi Islam, Jakarta dan Profesor Universitas Mustopo, Jakarta. Dari tahun 1951 hingga tahun 1960, beliau menjabat sebagai Pegawai Tinggi Agama oleh Menteri Agama Indonesia, tetapi meletakkan jabatan itu ketika Sukarno menyuruhnya memilih antara menjadi pegawai negeri atau bergiat dalam politik Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi).

Hamka adalah seorang otodidiak dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan seperti filsafat, sastra, sejarah, sosiologi dan politik, baik Islam maupun Barat. Dengan kemahiran bahasa Arabnya yang tinggi, beliau dapat menyelidiki karya ulama dan pujangga besar di Timur Tengah seperti Zaki Mubarak, Jurji Zaidan, Abbas al-Aqqad, Mustafa al-Manfaluti dan Hussain Haikal. Melalui bahasa Arab juga, beliau meneliti karya sarjana Perancis, Inggris dan Jerman seperti Albert Camus, William James, Sigmund Freud, Arnold Toynbee, Jean Paul Sartre, Karl Marx dan Pierre Loti. Hamka juga rajin membaca dan bertukar-tukar pikiran dengan tokoh-tokoh terkenal Jakarta seperti HOS Tjokroaminoto, Raden Mas Surjopranoto, Haji Fachrudin, Ar Sutan Mansur dan Ki Bagus Hadikusumo sambil mengasah bakatnya sehingga menjadi seorang ahli pidato yang handal.

Hamka juga aktif dalam gerakan Islam melalui organisasi Muhammadiyah. Ia mengikuti pendirian Muhammadiyah mulai tahun 1925 untuk melawan khurafat, bidaah, tarekat dan kebatinan sesat di Padang Panjang. Mulai tahun 1928, beliau mengetuai cabang Muhammadiyah di Padang Panjang. Pada tahun 1929, Hamka mendirikan pusat latihan pendakwah Muhammadiyah dan dua tahun kemudian beliau menjadi konsul Muhammadiyah di Makassar. Kemudian beliau terpilih menjadi ketua Majlis Pimpinan Muhammadiyah di Sumatera Barat oleh Konferensi Muhammadiyah, menggantikan S.Y. Sutan Mangkuto pada tahun 1946. Ia menyusun kembali pembangunan dalam Kongres Muhammadiyah ke-31 di Yogyakarta pada tahun 1950.
Pada tahun 1953, Hamka dipilih sebagai penasihat pimpinan Pusat Muhammadiah. Pada 26 Juli 1977, Menteri Agama Indonesia, Prof. Dr. Mukti Ali melantik Hamka sebagai ketua umum Majlis Ulama Indonesia tetapi beliau kemudiannya meletak jawatan pada tahun 1981 karena nasihatnya tidak dipedulikan oleh pemerintah Indonesia.

Kegiatan politik Hamka bermula pada tahun 1925 ketika beliau menjadi anggota partai politik Sarekat Islam. Pada tahun 1945, beliau membantu menentang usaha kembalinya penjajah Belanda ke Indonesia melalui pidato dan menyertai kegiatan gerilya di dalam hutan di Medan. Pada tahun 1947, Hamka diangkat menjadi ketua Barisan Pertahanan Nasional, Indonesia. Ia menjadi anggota Konstituante Masyumi dan menjadi pemidato utama dalam Pilihan Raya Umum 1955. Masyumi kemudiannya diharamkan oleh pemerintah Indonesia pada tahun 1960. Dari tahun 1964 hingga tahun 1966, Hamka dipenjarakan oleh Presiden Sukarno karena dituduh pro-Malaysia. Semasa dipenjarakanlah maka beliau mulai menulis Tafsir al-Azhar yang merupakan karya ilmiah terbesarnya. Setelah keluar dari penjara, Hamka diangkat sebagai anggota Badan Musyawarah Kebajikan Nasional, Indonesia, anggota Majelis Perjalanan Haji Indonesia dan anggota Lembaga Kebudayaan Nasional, Indonesia.

Selain aktif dalam soal keagamaan dan politik, Hamka merupakan seorang wartawan, penulis, editor dan penerbit. Sejak tahun 1920-an, Hamka menjadi wartawan beberapa buah akhbar seperti Pelita Andalas, Seruan Islam, Bintang Islam dan Seruan Muhammadiyah. Pada tahun 1928, beliau menjadi editor majalah Kemajuan Masyarakat. Pada tahun 1932, beliau menjadi editor dan menerbitkan majalah al-Mahdi di Makasar. Hamka juga pernah menjadi editor majalah Pedoman Masyarakat, Panji Masyarakat dan Gema Islam.

Hamka juga menghasilkan karya ilmiah Islam dan karya kreatif seperti novel dan cerpen. Karya ilmiah terbesarnya ialah Tafsir al-Azhar (5 jilid) dan antara novel-novelnya yang mendapat perhatian umum dan menjadi buku teks sastera di Malaysia dan Singapura termasuklah Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, Di Bawah Lindungan Kaabah dan Merantau ke Deli.
Hamka pernah menerima beberapa anugerah pada peringkat nasional dan antarabangsa seperti anugerah kehormatan Doctor Honoris Causa, Universitas al-Azhar, 1958; Doktor Honoris Causa, Universitas Kebangsaan Malaysia, 1974; dan gelar Datuk Indono dan Pengeran Wiroguno dari pemerintah Indonesia.

Hamka telah pulang ke rahmatullah pada 24 Juli 1981, namun jasa dan pengaruhnya masih terasa sehingga kini dalam memartabatkan agama Islam. Ia bukan sahaja diterima sebagai seorang tokoh ulama dan sasterawan di negara kelahirannya, malah jasanya di seluruh alam Nusantara, termasuk Malaysia dan Singapura, turut dihargai.

dikutip dari wikipedia.org

0

Dr Mohammad Hatta

| Rabu, Desember 02, 2009

Nama ~ Dr. Mohammad Hatta (Bung Hatta)
Lahir ~ Bukittinggi, 12 Agustus 1902
Wafat ~ Jakarta, 14 Maret 1980
Istri ~ (Alm.) Rahmi Rachim
Anak ~ Meutia Farida, Gemala, dan Halida Nuriah
Gelar Pahlawan ~ Pahlawan Proklamator RI tahun 1986
Pendidikan ~ Europese Largere School (ELS) di Bukittinggi (1916), Meer Uirgebreid Lagere School (MULO) di Padang (1919), Handel Middlebare School (Sekolah Menengah Dagang), Jakarta (1921), Gelar Drs dari Nederland Handelshogeschool, Rotterdam, Belanda (1932)
Karir ~ Bendahara Jong Sumatranen Bond, Padang (1916-1919), Bendahara Jong Sumatranen Bond, Jakarta (1920-1921), Ketua Perhimpunan Indonesia di Belanda (1925-1930), Wakil delegasi Indonesia dalam gerakan Liga Melawan Imperialisme dan Penjajahan, Berlin (1927-1931), Ketua Panitia (PNI Baru) Pendidikan Nasional Indonesia (1934-1935), Kepala Kantor Penasihat pada pemerintah Bala Tentara Jepang (April 1942), Anggota Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan (Mei 1945), Wakil Ketua Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (7 Agustus 1945), Proklamator Kemerdekaan Republik Indonesia (17 Agustus 1945), Wakil Presiden Republik Indonesia pertama (18 Agustus 1945), Wakil Presiden merangkap Perdana Menteri dan Menteri Pertahanan (Januari 1948 - Desember 1949), Ketua Delegasi Indonesia pada Konferensi Meja Bundar di Den Haag dan menerima penyerahan kedaulatan dari Ratu Juliana (1949), Wakil Presiden merangkap Perdana Menteri dan Menteri Luar Negeri Kabinet Republik Indonesia Serikat (Desember 1949 - Agustus 1950), Dosen di Sesko Angkatan Darat, Bandung (1951-1961), Dosen di Universitas Gajah Mada, Yogyakarta (1954-1959), Penasihat Presiden dan Penasihat Komisi IV tentang masalah korupsi (1969), Ketua Panitia Lima yang bertugas memberikan perumusan penafsiran mengenai Pancasila (1975)


Mohammad Hatta lahir pada tanggal 12 Agustus 1902 di Bukittinggi. Di kota kecil yang indah inilah Bung Hatta dibesarkan di lingkungan keluarga ibunya. Ayahnya, Haji Mohammad Djamil, meninggal ketika Hatta berusia delapan bulan. Dari ibunya, Hatta memiliki enam saudara perempuan. Ia adalah anak laki-laki satu-satunya. Sejak duduk di MULO di kota Padang, ia telah tertarik pada pergerakan. Sejak tahun 1916, timbul perkumpulan-perkumpulan pemuda seperti Jong Java, Jong Sumatranen Bond, Jong Minahasa. dan Jong Ambon. Hatta masuk ke perkumpulan Jong Sumatranen Bond.


BIOGRAPHY...

Sebagai bendahara Jong Sumatranen Bond, ia menyadari pentingnya arti keuangan bagi hidupnya perkumpulan. Tetapi sumber keuangan baik dari iuran anggota maupun dari sumbangan luar hanya mungkin lancar kalau para anggotanya mempunyai rasa tanggung jawab dan disiplin. Rasa tanggung jawab dan disiplin selanjutnya menjadi ciri khas sifat-sifat Mohammad Hatta.

Masa Studi di Negeri Belanda
Pada tahun 1921 Hatta tiba di Negeri Belanda untuk belajar pada Handels Hoge School di Rotterdam. Ia mendaftar sebagai anggota Indische Vereniging. Tahun 1922, perkumpulan ini berganti nama menjadi Indonesische Vereniging. Perkumpulan yang menolak bekerja sama dengan Belanda itu kemudian berganti nama lagi menjadi Perhimpunan Indonesia (PI).

Hatta juga mengusahakan agar majalah perkumpulan, Hindia Poetra, terbit secara teratur sebagai dasar pengikat antaranggota. Pada tahun 1924 majalah ini berganti nama menjadi Indonesia Merdeka.

Hatta lulus dalam ujian handels economie (ekonomi perdagangan) pada tahun 1923. Semula dia bermaksud menempuh ujian doctoral di bidang ilmu ekonomi pada akhir tahun 1925. Karena itu pada tahun 1924 dia non-aktif dalam PI. Tetapi waktu itu dibuka jurusan baru, yaitu hukum negara dan hukum administratif. Hatta pun memasuki jurusan itu terdorong oleh minatnya yang besar di bidang politik.

Perpanjangan rencana studinya itu memungkinkan Hatta terpilih menjadi Ketua PI pada tanggal 17 Januari 1926. Pada kesempatan itu, ia mengucapkan pidato inaugurasi yang berjudul "Economische Wereldbouw en Machtstegenstellingen"--Struktur Ekonomi Dunia dan Pertentangan kekuasaan. Dia mencoba menganalisis struktur ekonomi dunia dan berdasarkan itu, menunjuk landasan kebijaksanaan non-kooperatif.

Sejak tahun 1926 sampai 1930, berturut-turut Hatta dipilih menjadi Ketua PI. Di bawah kepemimpinannya, PI berkembang dari perkumpulan mahasiswa biasa menjadi organisasi politik yang mempengaruhi jalannya politik rakyat di Indonesia. Sehingga akhirnya diakui oleh Pemufakatan Perhimpunan Politik Kebangsaan Indonesia (PPPI) PI sebagai pos depan dari pergerakan nasional yang berada di Eropa.

PI melakukan propaganda aktif di luar negeri Belanda. Hampir setiap kongres intemasional di Eropa dimasukinya, dan menerima perkumpulan ini. Selama itu, hampir selalu Hatta sendiri yang memimpin delegasi.

Pada tahun 1926, dengan tujuan memperkenalkan nama "Indonesia", Hatta memimpin delegasi ke Kongres Demokrasi Intemasional untuk Perdamaian di Bierville, Prancis. Tanpa banyak oposisi, "Indonesia" secara resmi diakui oleh kongres. Nama "Indonesia" untuk menyebutkan wilayah Hindia Belanda ketika itu telah benar-benar dikenal kalangan organisasi-organisasi internasional.

Hatta dan pergerakan nasional Indonesia mendapat pengalaman penting di Liga Menentang Imperialisme dan Penindasan Kolonial, suatu kongres internasional yang diadakan di Brussels tanggal 10-15 Pebruari 1927. Di kongres ini Hatta berkenalan dengan pemimpin-pemimpin pergerakan buruh seperti G. Ledebour dan Edo Fimmen, serta tokoh-tokoh yang kemudian menjadi negarawan-negarawan di Asia dan Afrika seperti Jawaharlal Nehru (India), Hafiz Ramadhan Bey (Mesir), dan Senghor (Afrika). Persahabatan pribadinya dengan Nehru mulai dirintis sejak saat itu.

Pada tahun 1927 itu pula, Hatta dan Nehru diundang untuk memberikan ceramah bagi "Liga Wanita Internasional untuk Perdamaian dan Kebebasan" di Gland, Swiss. Judul ceramah Hatta L 'Indonesie et son Probleme de I' Independence (Indonesia dan Persoalan Kemerdekaan).

Bersama dengan Nazir St. Pamontjak, Ali Sastroamidjojo, dan Abdul Madjid Djojoadiningrat, Hatta dipenjara selama lima setengah bulan. Pada tanggal 22 Maret 1928, mahkamah pengadilan di Den Haag membebaskan keempatnya dari segala tuduhan. Dalam sidang yang bersejarah itu, Hatta mengemukakan pidato pembelaan yang mengagumkan, yang kemudian diterbitkan sebagai brosur dengan nama "Indonesia Vrij", dan kemudian diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia sebagai buku dengan judul Indonesia Merdeka.

Antara tahun 1930-1931, Hatta memusatkan diri kepada studinya serta penulisan karangan untuk majalah Daulat Ra‘jat dan kadang-kadang De Socialist. Ia merencanakan untuk mengakhiri studinya pada pertengahan tahun 1932.

Kembali ke Tanah Air
Pada bulan Juli 1932, Hatta berhasil menyelesaikan studinya di Negeri Belanda dan sebulan kemudian ia tiba di Jakarta. Antara akhir tahun 1932 dan 1933, kesibukan utama Hatta adalah menulis berbagai artikel politik dan ekonomi untuk Daulat Ra’jat dan melakukan berbagai kegiatan politik, terutama pendidikan kader-kader politik pada Partai Pendidikan Nasional Indonesia. Prinsip non-kooperasi selalu ditekankan kepada kader-kadernya.

Reaksi Hatta yang keras terhadap sikap Soekarno sehubungan dengan penahannya oleh Pemerintah Kolonial Belanda, yang berakhir dengan pembuangan Soekarno ke Ende, Flores, terlihat pada tulisan-tulisannya di Daulat Ra’jat, yang berjudul "Soekarno Ditahan" (10 Agustus 1933), "Tragedi Soekarno" (30 Nopember 1933), dan "Sikap Pemimpin" (10 Desember 1933).

Pada bulan Pebruari 1934, setelah Soekarno dibuang ke Ende, Pemerintah Kolonial Belanda mengalihkan perhatiannya kepada Partai Pendidikan Nasional Indonesia. Para pimpinan Partai Pendidikan Nasional Indonesia ditahan dan kemudian dibuang ke Boven Digoel. Seluruhnya berjumlah tujuh orang. Dari kantor Jakarta adalah Mohammad Hatta, Sutan Sjahrir, dan Bondan. Dari kantor Bandung: Maskun Sumadiredja, Burhanuddin, Soeka, dan Murwoto. Sebelum ke Digoel, mereka dipenjara selama hampir setahun di penjara Glodok dan Cipinang, Jakarta. Di penjara Glodok, Hatta menulis buku berjudul “Krisis Ekonomi dan Kapitalisme”.

Masa Pembuangan
Pada bulan Januari 1935, Hatta dan kawan-kawannya tiba di Tanah Merah, Boven Digoel (Papua). Kepala pemerintahan di sana, Kapten van Langen, menawarkan dua pilihan: bekerja untuk pemerintahan kolonial dengan upah 40 sen sehari dengan harapan nanti akan dikirim pulang ke daerah asal, atau menjadi buangan dengan menerima bahan makanan in natura, dengan tiada harapan akan dipulangkan ke daerah asal. Hatta menjawab, bila dia mau bekerja untuk pemerintah kolonial waktu dia masih di Jakarta, pasti telah menjadi orang besar dengan gaji besar pula. Maka tak perlulah dia ke Tanah Merah untuk menjadi kuli dengan gaji 40 sen sehari.

Dalam pembuangan, Hatta secara teratur menulis artikel-artikel untuk surat kabar Pemandangan. Honorariumnya cukup untuk biaya hidup di Tanah Merah dan dia dapat pula membantu kawan-kawannya. Rumahnya di Digoel dipenuhi oleh buku-bukunya yang khusus dibawa dari Jakarta sebanyak 16 peti. Dengan demikian, Hatta mempunyai cukup banyak bahan untuk memberikan pelajaran kepada kawan-kawannya di pembuangan mengenai ilmu ekonomi, sejarah, dan filsafat. Kumpulan bahan-bahan pelajaran itu di kemudian hari dibukukan dengan judul-judul antara lain, "Pengantar ke Jalan llmu dan Pengetahuan" dan "Alam Pikiran Yunani." (empat jilid).

Pada bulan Desember 1935, Kapten Wiarda, pengganti van Langen, memberitahukan bahwa tempat pembuangan Hatta dan Sjahrir dipindah ke Bandaneira. Pada Januari 1936 keduanya berangkat ke Bandaneira. Mereka bertemu Dr. Tjipto Mangunkusumo dan Mr. Iwa Kusumasumantri. Di Bandaneira, Hatta dan Sjahrir dapat bergaul bebas dengan penduduk setempat dan memberi pelajaran kepada anak-anak setempat dalam bidang sejarah, tatabuku, politik, dan lain-Iain.

Kembali Ke Jawa: Masa Pendudukan Jepang
Pada tanggal 3 Pebruari 1942, Hatta dan Sjahrir dibawa ke Sukabumi. Pada tanggal 9 Maret 1942, Pemerintah Hindia Belanda menyerah kepada Jepang, dan pada tanggal 22 Maret 1942 Hatta dan Sjahrir dibawa ke Jakarta.

Pada masa pendudukan Jepang, Hatta diminta untuk bekerja sama sebagai penasehat. Hatta mengatakan tentang cita-cita bangsa Indonesia untuk merdeka, dan dia bertanya, apakah Jepang akan menjajah Indonesia? Kepala pemerintahan harian sementara, Mayor Jenderal Harada. menjawab bahwa Jepang tidak akan menjajah. Namun Hatta mengetahui, bahwa Kemerdekaan Indonesia dalam pemahaman Jepang berbeda dengan pengertiannya sendiri. Pengakuan Indonesia Merdeka oleh Jepang perlu bagi Hatta sebagai senjata terhadap Sekutu kelak. Bila Jepang yang fasis itu mau mengakui, apakah sekutu yang demokratis tidak akan mau? Karena itulah maka Jepang selalu didesaknya untuk memberi pengakuan tersebut, yang baru diperoleh pada bulan September 1944.

Selama masa pendudukan Jepang, Hatta tidak banyak bicara. Namun pidato yang diucapkan di Lapangan Ikada (sekarang Lapangan Merdeka) pada tanggaI 8 Desember 1942 menggemparkan banyak kalangan. Ia mengatakan, “Indonesia terlepas dari penjajahan imperialisme Belanda. Dan oleh karena itu ia tak ingin menjadi jajahan kembali. Tua dan muda merasakan ini setajam-tajamnya. Bagi pemuda Indonesia, ia Iebih suka melihat Indonesia tenggelam ke dalam lautan daripada mempunyainya sebagai jajahan orang kembali."

Proklamasi
Pada awal Agustus 1945, Panitia Penyidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia diganti dengan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia, dengan Soekamo sebagai Ketua dan Mohammad Hatta sebagai Wakil Ketua. Anggotanya terdiri dari wakil-wakil daerah di seluruh Indonesia, sembilan dari Pulau Jawa dan dua belas orang dari luar Pulau Jawa.

Pada tanggal 16 Agustus 1945 malam, Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia mempersiapkan proklamasi dalam rapat di rumah Admiral Maeda (JI Imam Bonjol, sekarang), yang berakhir pada pukul 03.00 pagi keesokan harinya. Panitia kecil yang terdiri dari 5 orang, yaitu Soekamo, Hatta, Soebardjo, Soekarni, dan Sayuti Malik memisahkan diri ke suatu ruangan untuk menyusun teks proklamasi kemerdekaan. Soekarno meminta Hatta menyusun teks proklamasi yang ringkas. Hatta menyarankan agar Soekarno yang menuliskan kata-kata yang didiktekannya. Setelah pekerjaan itu selesai. mereka membawanya ke ruang tengah, tempat para anggota lainnya menanti.

Soekarni mengusulkan agar naskah proklamasi tersebut ditandatangi oleh dua orang saja, Soekarno dan Mohammad Hatta. Semua yang hadir menyambut dengan bertepuk tangan riuh. Ta
nggal 17 Agustus 1945, kemerdekaan Indonesia diproklamasikan oleh Soekarno dan Mohammad Hatta atas nama bangsa Indonesia, tepat pada jam 10.00 pagi di Jalan Pengangsaan Timur 56 Jakarta.

Tanggal 18 Agustus 1945, Ir Soekarno diangkat sebagai Presiden Republik Indonesia dan Drs. Mohammad Hatta diangkat menjadi Wakil Presiden Republik Indonesia. Soekardjo Wijopranoto mengemukakan bahwa Presiden dan Wakil Presiden harus merupakan satu dwitunggal.

Periode Mempertahankan Kemerdekaan Indonesia
Indonesia harus mempertahankan kemerdekaannya dari usaha Pemerintah Belanda yang ingin menjajah kembali. Pemerintah Republik Indonesia pindah dari Jakarta ke Yogyakarta. Dua kali perundingan dengan Belanda menghasilkan Perjanjian Linggarjati dan Perjanjian Reville, tetapi selalu berakhir dengan kegagalan akibat kecurangan pihak Belanda.

Untuk mencari dukungan luar negeri, pada Juli I947, Bung Hatta pergi ke India menemui Jawaharlal Nehru dan Mahatma Gandhi. dengan menyamar sebagai kopilot bernama Abdullah (Pilot pesawat adalah Biju Patnaik yang kemudian menjadi Menteri Baja India di masa Pemerintah Perdana Menteri Morarji Desai). Nehru berjanji, India dapat membantu Indonesia dengan protes dan resolusi kepada PBB agar Belanda dihukum.

Kesukaran dan ancaman yang dihadapi silih berganti. September 1948 PKI melakukan pemberontakan. 19 Desember 1948, Belanda kembali melancarkan agresi kedua. Presiden dan Wapres ditawan dan diasingkan ke Bangka. Namun perjuangan Rakyat Indonesia untuk mempertahankan kemerdekaan terus berkobar di mana-mana. Panglima Besar Soediman melanjutkan memimpin perjuangan bersenjata.

Pada tanggal 27 Desember 1949 di Den Haag, Bung Hatta yang mengetuai Delegasi Indonesia dalam Konperensi Meja Bundar untuk menerima pengakuan kedaulatan Indonesia dari Ratu Juliana.

Bung Hatta juga menjadi Perdana Menteri waktu Negara Republik Indonesia Serikat berdiri. Selanjutnya setelah RIS menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia, Bung Hatta kembali menjadi Wakil Presiden.

Periode Tahun 1950-1956
Selama menjadi Wakil Presiden, Bung Hatta tetap aktif memberikan ceramah-ceramah di berbagai lembaga pendidikan tinggi. Dia juga tetap menulis berbagai karangan dan buku-buku ilmiah di bidang ekonomi dan koperasi. Dia juga aktif membimbing gerakan koperasi untuk melaksanakan cita-cita dalam konsepsi ekonominya. Tanggal 12 Juli 1951, Bung Hatta mengucapkan pidato radio untuk menyambut Hari Koperasi di Indonesia. Karena besamya aktivitas Bung Hatta dalam gerakan koperasi, maka pada tanggal 17 Juli 1953 dia diangkat sebagai Bapak Koperasi Indonesia pada Kongres Koperasi Indonesia di Bandung. Pikiran-pikiran Bung Hatta mengenai koperasi antara lain dituangkan dalam bukunya yang berjudul Membangun Koperasi dan Koperasi Membangun (1971).

Pada tahun 1955, Bung Hatta mengumumkan bahwa apabila parlemen dan konsituante pilihan rakyat sudah terbentuk, ia akan mengundurkan diri sebagai Wakil Presiden. Niatnya untuk mengundurkan diri itu diberitahukannya melalui sepucuk surat kepada ketua Perlemen, Mr. Sartono. Tembusan surat dikirimkan kepada Presiden Soekarno. Setelah Konstituante dibuka secara resmi oleh Presiden, Wakil Presiden Hatta mengemukakan kepada Ketua Parlemen bahwa pada tanggal l Desember 1956 ia akan meletakkan jabatannya sebagai Wakil Presiden RI. Presiden Soekarno berusaha mencegahnya, tetapi Bung Hatta tetap pada pendiriannya.

Pada tangal 27 Nopember 1956, ia memperoleh gelar kehormatan akademis yaitu Doctor Honoris Causa dalam ilmu hukum dari Universitas Gajah Mada di Yoyakarta. Pada kesempatan itu, Bung Hatta mengucapkan pidato pengukuhan yang berjudul “Lampau dan Datang”.

Sesudah Bung Hatta meletakkan jabatannya sebagai Wakil Presiden RI, beberapa gelar akademis juga diperolehnya dari berbagai perguruan tinggi. Universitas Padjadjaran di Bandung mengukuhkan Bung Hatta sebagai guru besar dalam ilmu politik perekonomian. Universitas Hasanuddin di Ujung Pandang memberikan gelar Doctor Honoris Causa dalam bidang Ekonomi. Universitas Indonesia memberikan gelar Doctor Honoris Causa di bidang ilmu hukum. Pidato pengukuhan Bung Hatta berjudul “Menuju Negara Hukum”.

Pada tahun 1960 Bung Hatta menulis "Demokrasi Kita" dalam majalah Pandji Masyarakat. Sebuah tulisan yang terkenal karena menonjolkan pandangan dan pikiran Bung Hatta mengenai perkembangan demokrasi di Indonesia waktu itu.

Dalam masa pemerintahan Orde Baru, Bung Hatta lebih merupakan negarawan sesepuh bagi bangsanya daripada seorang politikus.

Hatta menikah dengan Rahmi Rachim pada tanggal l8 Nopember 1945 di desa Megamendung, Bogor, Jawa Barat. Mereka mempunyai tiga orang putri, yaitu Meutia Farida, Gemala Rabi'ah, dan Halida Nuriah. Dua orang putrinya yang tertua telah menikah. Yang pertama dengan Dr. Sri-Edi Swasono dan yang kedua dengan Drs. Mohammad Chalil Baridjambek. Hatta sempat menyaksikan kelahiran dua cucunya, yaitu Sri Juwita Hanum Swasono dan Mohamad Athar Baridjambek.

Pada tanggal 15 Agustus 1972, Presiden Soeharto menyampaikan kepada Bung Hatta anugerah negara berupa Tanda Kehormatan tertinggi "Bintang Republik Indonesia Kelas I" pada suatu upacara kenegaraan di Istana Negara.
Bung Hatta, Proklamator Kemerdekaan dan Wakil Presiden Pertama Republik Indonesia, wafat pada tanggal 14 Maret 1980 di Rumah Sakit Dr Tjipto Mangunkusumo, Jakarta, pada usia 77 tahun dan dikebumikan di TPU Tanah Kusir pada tanggal 15 Maret 1980.