3

Mike Portnoy named in top 50 DRUMMERS OF ALL TIME (2009)

| Kamis, Desember 31, 2009
Rhythm Magazine out of the UK took a poll of its readers for the 50 greatest drummers of all time. As Mike said here:

When I saw the October 2009 issue of UK's Rhythm Magazine with the '50 Greatest Drummers of All Time' reader's poll on the cover, I must admit I was curious to open it up and see if I had made the Top 50...
Well, after quickly scanning through the 40's, 30's and 20's and not seeing my name, I was beginning to sadden that perhaps I didn't make the cut.... : (
But then I read on and was surprised to eventually find myself all the way at the top of the list at #5!
Thank you to all the drummers that voted me into such a prestigious poll....
I am truly flattered and honored to be held in such high regard with some of my greatest drumming heroes!
Thanks for all the love :)
Mike Portnoy
The top 5 were...
  1. John Bonham
  2. Buddy Rich
  3. Keith Moon
  4. Neil Peart
  5. Mike Portnoy
4

Sejenak Bersama Seorang Pahlawan

| Selasa, Desember 29, 2009

“Teeeeet….teeeett!!!”. suara klakson mobil yang melaju pelan hampir saja menyenggol tubuhku yang menyelinap diantara kendaraan yang sedang macet. Aku terus berlari kecil, tak kuhiraukan omelan sopir angkot yang merasa terganggu ketika aku melintas di depan mobilnya. Sesekali aku melirik casio yang melingkar ditangan kiriku.

“Ah mudah-mudahan tidak telat.” fikirku.

Hari itu aku berencana pergi menghabiskan liburan akhir tahunku di tempat familiku di daerah Cilacap. Kroya, nama kota kecil yang kutuju. Kota yang telah lama sekali tidak aku kunjungi. Walaupun dulu aku juga bukan orang yang terlalu sering mengunjungi kota ini. Seingatku baru duakali Aku mengunjunginya. Pertama aketika aku masih kelas empat SD dan kedua ketikaku kelas dua SMU. Kini… aku telah kuliah tingkat empat. Ya waktu yang cukup lama. Astagfirullah.. mudah-mudahan Alllah mengampuniku, sepertinya aku termasuk orang yang terlalu menyibukan diri dan jarang bersilaturahmi kepada sanak famili. Aku masih teringat ketika pertama kali berkunjung ke kota ini, memang tidak ada yang eneh, paling-paling pantai Widarapayung dan pantai Srandil, bagi orang lain yang sering bepergian tempatnya mungkin tidak terlalu indah tapi bagiku tidak. Semua pantai indah sepertihalnya pantai -pantai lain yang terkenal dan telah memperoleh sentuhan dari para investor. Ya bagiku yang tinggal di daerah yang jauh dari laut, semua pantai adalah indah, tanpa terkecuali kedua pantai itu.

“Alhamdulillah keretanya belum berangkat.” Gumanku dalam hati.

“Tiketnya satu Mbak.” Kataku kepada wanita petugas loket tiket perjalanan. Biasanya aku jika memasuki tempat yang jarang aku datangi, aku selalu menyempatkan diri melihat-lihat di sekitarnya.Tapi kali ini karena telat, tanpa basa-basi aku langsung membeli tiket kereta perjalanan kelas Rakyat …kelas ekonomi.

Suasana stasiun Kereta Kiaracondong tampak dijejjali oleh para penumpang dan pedagang asongan.

Bergegas aku memasuki pintu masuk Stasiun dan menyodorkan potongan kertas kecil tiket kepada salah seorang penjaga pintu masuk. “Maaf Pak ,,kereta yang ke Kroya yang mana?” tanyaku agak bingung, sebab didepanku ada dua kereta yang siap berangkat.

“Itu di jalur tiga, cepat naik sepertinya mau berangkat!” jawab petugas pintu itu sambil menunjuk kereta yang dia katakana. Lengkingan suara lokomotif tanda kereta akan segera diberangkatkan terdengar begitu keras memekakan telinga. Aku segera meloncat menaiki gerbong kedua.

“Nak disini…!” kata seorang Bapak tua yang tempat duduknya berada hanya beberapa meter dari tempatku berdiri. Aku menghampirinya dan mengambil tempat duduk tepat disisi jendela. Sambil tersenyum kuucapkan terima kasih.

“Alhamdulillah akhirnya dapat tempat duduk juga,” aku bersyukur dalam hati. Sesaat Aku memperhatikan suasana dalam gerbong kereta tempat ku berada. Suasana memang agak terlihat kumuh. Para pedagang asongangan berlalu lalang disepanjang gerbong kereta menawarkan dagangannya. Ada yang menawarkan dengan lemah lembut, ada yang setengah memaksa, ada juga seperti orang butuh ngak butuh sama pembelinya, mungkin dia sudah cukup capek menjajakan jualannya. Beberapa pengemis dan pengamen juga terlihat ikut berbaur degan para pedagang. Maklumlah kereta kelas ekonomi. Kereta buat rakyat kecil yang tidak mampu.

“Hai kamana wae yeuh? (kemarin kemana aja nih?)” teriak salah seorang pedagang dengan logat sundanya yang kental ketika berpapasan dengan teman seprofesinya.

“Eh…kamarimah pere’ heula cape’ (kemarin libur dulu nih)”. jawab si pedagang yang ditanya sambil tetap mengasong-asongkan dagangannya kepada para penumpang. Sesekali aku tersenyum dalam hati melihat tingkah laku para pedagang dan penumpang yang saling tawar menawar harga atau gerutuan penumpang yang meras terganggu oleh para pedagang. …yah pemandangan orang kecil yang tidak pernah aku temui dikampus. Sepertinya benar apa yang pernah dikatakan salah seorang ustadz bahwa sesekali kita sebaiknya bepergian ketempat lain agar kita tidak merasakan kejenuhan hidup.

“Jeruknya Pak ,mas!” tawar seorang padagang asongan menawarkan buah jeruk yang didagangkannya. “Ndak pak” jawab laki-laki disampingku . Aku hanya tersenyum dan mengangkat tanganku setengah, menandangan penolakan secara halus atas tawaran padagang tersebut. Padagang yang usianya sepertinya sudah cukup tua itu hanya balik tersenyum.

“Ini manis lho mas, boleh coba dulu kalau mas nggak percaya”. Tawar lelaki itu kembali untuk meyakinkanku dengan logat jawanya yang kental. Tanganku menerima beberapa potongbuah jeruk yang dia tawarkan dan memakannya. Setelah menanyakan harga segera aku mengeluarkan uang untuk membayarnya. Sebenarnya Aku ingin membeli jeruk yang tawarkan oleh laki-laki tua itu bukan karena aku ingin makan buah jeruk, tetapi lebih kepada perasaan ibaku melihat kondisi fisik lelaki tua itu. Lelaki tua berjalan pincang dengan bola mata kirinya yang tampak pemutih tanda sudah tidak bisa lagi dipakai untuk melihat. Guratan wajah tuanya sepertinya menampakan banyaknya pengalaman hidup.

“Priiiiiit…….priiiiiiiit “. terdengar suara peluit petugas pemberangkatan, diikuti oleh lengkingan suara lokomotif. Sementara information center juga memberikan pengumuman bahwa kereta ekonomi jurusan kroya segera di berangkatkan. Beberapa pedagang asongan segera berhamburan keluar dari pintu gerbong, sementara yang lain tanpa terpengaruh sedikitpun tetap menjajakan dagangannya. Aku perlahan mengucapkan basmalah bersamaan dengan Kereta yang mulai melaju. “Bismillahirrahmaanirrahiim…..”

***

Gesekan besi baja roda dengan rel kereta seakan menjadi nada-nada lagu unik yang tengah aku nikmati. Suaranya seakan ikut mengiringi fikiranku yang tengah mengagumi indahnya pemandangan alam selepas kota Bandung. Hamparan sawah, kolam ikan serta rawa-rawa dan hutan hijau seolah-olah saling berbicara satu sama lainnya. Sepertinya waktu itu aku lupa kalau kota Bandungku sering dihiasi oleh kesumpekan orang-orang yang memadati mall-mall serta jalanan yang kini kian tambah macet disana-sini.

“Nak, mau kemana?” suara seorang laki-laki yang duduk di samping membuyarkan fikiranku yang tengah menerawang jauh.

“Ooh.. mm.. mau ke Kroya pak. Bapak mau kemana?” jawabku singkat, sambil balik bertanya sekedar menutupi rasa kagetku.

“Saya mau ke Sidareja. Liburan!? Mau kesiapa? baru pertama naik kereta ya?“ kembali lelaki itu bertanya, kali ini beberapa pertayaan langsung seakan ingin menghapus di kesunyian diantara penumpang lain yang ada didepan kami.

“Iya pak saya sudah lama tidak naik kereta. Saya mau liburan dirumah Pak lesaya di Kroya”

Aku akhirnya larut dengan obrolan bersama lelaki itu, bahkan dua penunpang lain yang ada di depan kami ikut menimpali pembicaraan kami. Kami membucarakan banyak hal seputar sulitnya perekonomian di negara ini hingga ke masalah politik. Aku sebenarnya enggan membicarakan masalah-masalah tersebut. Jenuh. Itukan sudah sering aku bicarakan dikampus. Tapi aku mencoba tetap mengikuti pembicaraan sekedar untuk menghargai sesama penumpang. Sesekali aku menengokan kepalaku ke luar jendela untuk melihat pemandangan alam. Dalam sebuah lengkungan belokan aku bisa melihat ujung belakang kereta yang kunaiki. Berulangkali aku bertasbih mengagumi indahnya ciptaan ilahi.

***

Suasana senja mulai menghiasi pemandangan diluar. Kereta yang kutunggangi masih tetap melaju sambil sesekali meringkik berbunyi. Suasana pedesaan jawa tengah mulai terlihat. Sepertinya kereta api yang ku naiki telah melalui perbatasan Jawa Tengah dan Jawa Barat. Aku menikmati betul suasana pergantian siang dan malam di luar sana. Guratan lembayung serta lampu-lampu rumah mulai menghiasi alam diluar. Suasana di dalam kereta sedikit sepi. Mungkin para pedagang pun tahu kalau waktu sesaat lagi akan memasuki waktu maghrib. Sebagian penumpang juga sudah banyak yang turun di stasiun-stasiun kecil yang tadi dilalui.

“Alhamdulillah…” tanpa terasa bibirku mengucapkan kalimat hamdhalah ketika suara adzan maghrib mulai terdengar dari segenap penjuru pandang yang kutatap. Tiba-tiba aku teringat masjid kecil disamping rumahku yang biasa aku datangi pada saat petang seperti ini untuk shalat maghrib. Ah sepertinya aku harus men-jamashalat maghribku.

Lampu-lampu didalam ruangan gerbong satu persatu mulai menyala. Kini tinggal aku duduk sendiri diantara dua buah bangku kereta yang saling berhadapan.

“Turun dimana mas?”

Aku agak terperanjat mendengar suara berat menyapaku.

“Mm... turun di Kroya pak. Bapak turun dimana?” pertanyaan konyol sebenarnya, sebab aku tahu sebenarnya yang bertanya padaku adalah laki-laki tua yang tadi sore menawarkan jeruk dagangannya, hanya saja karena kaget sehingga pertanyaan itu yang keluar dari mulutku.

“Ooh.. saya.. saya turun dimana kereta ini berhenti.” Laki-laki tua itu kemudian duduk dibangku seberang ,disamping tempat dudukku, sambil meletakan dus yang berisi beberapa buah jeruk lagi, laki-laki tua itu kembali bertanya “Mas baru datang kesini ya?”

“Iya pak saya sudah lama tidak main ke Kroya. Saya dari Bandung pak. Bapak asli mana?” aku menjawab dan balik bertanya seolah tidak mau kalah supel.

“Saya asli dari Kroya, lengkapnya lahir dan besar di kroya dan tua di kereta...” Laki-laki tua itu menjawab pertanyaanku dengan diakhiri kekeh tawanya.

“Bapak sudah lama berjualan di kereta?” aku tertarik dengan jawaban singkatnya.

“Sudah sepuluh tahun bapak berjualan di kereta ya sekedar untuk mencari makan. Kadang siang bapak baru menemukan makan, kadang bahkan sampai malam. Tapi itulah... yah namanya juga hidup. Semuanya butuh perjuangan”. Laki-laki tua itu kembali terkekeh.

Aku terus menyimak cerita-cerita laki-laki tua itu. Sesekali aku mengagguk-anggukan kepalaku. Sorot matanya kanannya terlihat tajam menerawang jauh. Seakan ingin menembus waktu yang telah ia lalui saat ini.

Dari ceritanya aku mengetahui bahwa laki-laki tua ini dahulunya adalah seorang rakyat sipil yang pernah ikut berjuang mempertahankan kemerdekaan dari kaum penjajah. Ia bercerita betapa beratnya hidup yang harus dijalani ketika itu. Meskipun dia bukan tentara, dia rela mangorbankan hidupnya untuk turut bergerilya bersama para pejuang untuk mengusir para penjajah.

Aku larut dalam cerita yang dibawakan oleh laki-laki tua itu. Fikiranku seakan ikut masuk kedalam fikirannya, menerawang jauh kemasa dimana negeri ini tengah mengalami penjajahan. Diam-diam aku mengagumi sosok tua disampingku yang tanpa pamrih telah berjasa besar pada negeri ini.

“Pikiran Bapak waktu itu adalah bukan kepada uang dan jabatan. Tapi Bapak lebik memikirkan bagaimana secepat mungkin negeri ini bisa merdeka.”

Aku semakin tertarik dengan cerita-cerita heroik yang diceritakannya. Ia mengatakan bahwa mata kirinya yang buta adalah akibat dari pecahan logam bom yang dijatuhkan dari pesawat sekutu. Begitu pula kaki kanannya yang saat ini tidak bisa dipakai berjalan dengan normal adalah akibat dari lemparan granat seorang ketika sedang melakukan sebuah serbuan ke sebuah markas tentara sekutu. Ia bahkan mengaitkan bahwa kehidupannya yang lekat dengan kereta api. Waktu itu ia sering berpindah-pindah mengungsi dengan kereta api untuk menghindari tentara sekutu, bahkan disekitar stasiun kereta Kroya, dahulu tentara sekutu sering menjatuhkan bom-bom pesawatnya.

“Lalu mengapa bapak sekarang hanya hidup dengan berjualan jeruk di kereta api? Apakah tidak ada penghargaan dari pemerintah atas perjuangan bapak? Apa bapak tidak pernah menuntutnya?”

Saking semangatnya aku memberondongkan pertanyaan kepada laki-laki tua itu.

Sesaat hening terasa. Aku merasa agak bersalah. Takut kalau-kalu pertanyaanku terlalu menyelidik.

“ Dulu banyak teman-teman bapak dari kalangan rakyat kecil yang pernah ikut berjuang diberikan penghargaan oleh pemerintah dengan dimasukan sebagai anggota militer. Tapi Bapak.... entahlah. Waktu itu nama bapak bukan yang termasuk kedalam daftar panggil yang akan diberi penghargaan. Biarlah mas.. waktu itu bapak sudah cukup senang bisa melihat bangsa ini merdeka.”

Aku terdiam mendengar jawaban laki-laki tua itu. Hatiku pun kini cukup miris jika mengingat pergaulan dan tingkah laku remaja saat ini yang tidak lagi mewujudkan rasa syukur atas nikmat kemerdekaan yang telah diberikan oleh Allah. Mereka kebanyakan hanya menghabiskan waktu hanya untuk nongkrong-nongkrong di mall, tawuran atau berfoya-foya di dalam pesta yang bernuansakan kemaksiatan.

“Bagaimana dengan keluarga bapak saat ini?”

Aku bertanya lirih. Takut kalau pertanyaanku kembali menyinggung perasaannya.

Laki-laki tua itu menarik nafas dalam-dalam. Aku tahu walaupun ruangan gerbong saat itu tidak terlalu terang oleh cahaya lampu, tapi aku bisa melihat sekilas kilapan air bening yang meleleh di ujung sela matanya. Tanpa terasa mataku ikut berkaca-kaca. Haru.

“Bapak dulu mempunyai keluarga. Istri bapak seorang pedagang sayuran dipasar mingguan. Anak bapak dua, laki-laki semua. Suatu saat dalam sebuah serangan udara, bapak mencoba berlari untuk menyelamatkan anak bapak yang masih kecil dari serang pesawat sekutu. Waktu itulah bapak berpisah dengan istri bapak yang pergi mengungsi dengan membawa anak bapak yang masih berusia tujuh tahun. Sementara anak yang paling kecil yang bapak bawa ternyata harus meninggal karena terserang diare.”

Laki-laki tua itu diam sesaat sambil menyeka air mata dengan ujung bajunya. Ia terlihat ingin mencoba menenangkan dirinya.

“....Beberapa tahun kemudian bapak mendengar bahwa istri bapak juga meninggal dipengungsian akibat sakit TBC yang dideritanya. Sementara anak bapak yang dibawa olehnya kata salah seorang teman bapak telah diambil sebagai anak pungut oleh salah seorang warga keturunan china yang ikut mengungsi.”

“Bapak tahu dimana anak bapak itu sekarang berada?”, aku bertanya singkat.

“Bapak sudah mencari kemana-mana. Pernah suatu saat bapak mendengar bahwa warga cina yang memungut anak bapak itu kini tinggal di kota Cilacap. Bapak waktu itu langsung mencari alamatnya dan langsung mendatanginya.”

“ Bapak bertemu... ?” ucapku tanpa menyelesaikan pentanyaan.

“Ya waktu itu bapak melihat seorang pemuda yang mirip sekali dengan bapak waktu muda......”

Suara laki-laki tua itu terdengar menyerak menahan tangis. Aku mengusap air hangat yang satu persatu mulai membasahi pipiku.

“....bapak waktu itu tidak cukup kuat untuk mengatakan bahwa bapak adalah ayahnya. Bapak malah berkata bahwa kedatangan bapak hanya sekedar ingin menawarkan dagangan jeruk bapak.”

Laki-laki tua itu mengakhiri ceritanya dengan tawa kekeh pelannya persis seperti yang pertama kudengar.

“Sudahlah mas, bapak memang jarang menceritakan hal ini kepada orang lain. Bapak memang suka terbawa emosi kalau bercerita tentang masa lalu bapak. Biarlah......sekarang pun bapak telah cukup hidup dengan tenang...ini juga kan nikmat dari Gusti Allah yang harus bapak syukuri. Bapak sekarang ingin beristirahat dengan tenang”

Aku terdiam....laki-laki tua itu juga terdiam....

Aku tahu dari tarikan nafasnya, bahwa kata-kata terakhirnya tadi hanya sekedar untuk menenangkan dirinya. Tapi sesaat kemudian aku telah melihat laki-laki tua itu telah tertidur pulas. Mungkin dia capek setelah seharian berjalan diantara gerbong-gerbong kereta dengan membawa dagangannya.

Para penumpang tampaknya mulai terlelap dengan tidurnya. Kebanyakan diantara mereka sepertinya mempunyai tujuan yang sama denganku ke kota Kroya. Satu jam setengah lagi kereta ini akan tiba ditujuan terakhirnya. Kota Kroya.

***

Sebenarnya mataku tidak tertutup karena tertidur. Mungkin aku masih terpengaruh oleh cerita laki-laki tua disampingku. Sungguh baru pertama kali ini aku mendengar cerita yang mengharukan dari orangnya langsung. Dalam hati aku tertawa sinis jika mencoba membandingkannya dengan cerita-cerita cengeng remaja seputar tentang cinta yang suka ada di TV-TV.

“Tooooooot….tooooooot” suara lokomotif kereta terdengar begitu keras. Aku segera berdiri mengambil tas ranselku yang kusimpan diatas rak tepat dimanan aku tadi duduk. Kulirik jam tangan yang melingkar dipergelangan tangan kiriku “ jam sembilan malam kurang lima...”

Para penumpang satu persatu mulai menuruni gerbong kereta api, banyak diantara mereka yang langsung disambut oleh para tukang becak yang berebut membawa barang bawaan para penumpang.

Beberapa langkah menuju kepintu gerbong kereta aku teringat laki-laki tua yang tadi bercerita kepadaku. Aku membalikan tubuhku melangkah kearah laki-laki tua itu. Sekilas aku lihat tadi dia masih tertidur. Aku hanya ingin mengucapkan terima kasih atas ceritanya yang syarat dengan hikmah.

“Pak-pak!, sudah sampai ...” aku mencoba menepuk pundak laki-laki tua itu. Tapi laki-laki tua itu tak sedikitpun bergerak. Fikirku mungkin dia sangat kelelahan sehingga tertidur pulas. Tapi perasaanku menjadi tidak enak ketika beberapa kali tepukan tanganku tidak memberikan reaksi apa-apa pada laki-laki tua itu.

“Pak.. pak...!!!” tanganku kini memegang bahu laki-laki tua itu. Bahkan kini aku menguncang-guncangkan tubuhnya dengan keras sambil memegang tangan laki-laki tua itu. Tetap sepi.....

Mataku memanas. Suaraku terasa berat. Aku mencoba menarik nafas menenangkan diri seraya mengucapkan “innalillahi wainna ilahi rajiuun”. Aku meletakan tas ransel yang tadi telah kugendong dan kemudian berlari kearah pintu gerbong untuk memanggil orang yang berada tidak jauk dari tempatku berdiri. Beberapa pedagang asongan dan penumpang lain yang masih ada di sekitar gerbong tempat aku berdiri memanggil segera berdatangan menghampiriku dan menaiki pintu gerbong tempat aku berdiri.

Setelah beberapa kali oarang-orang tersebut mencoba membangunkan laki-laki tua itu, mereka kemudian mengangkat tubuh laki-laki tua itu keluar gerbong. Diluar ternyata telah banyak orang berkerumun sekedar ingin mengetahui tentang apa yang terjadi. Sesaat walaupun aku tidak begitu mengerti akan bahasa percakapan mereka, aku bisa tahu bahwa mereka mengatakan laki-laki tua pedagang jeruk itu telah meninggal.

Aku masih terduduk lemas ditepian jalur rel kereta. Mataku sedari dari telah lembab oleh air mata. Aku memang tidak begitu menghiraukan beberapaorang yang memperhatikanku. Sesaat aku berdiri mengambil tasku dan melangkah pergi. Selamat beristirahat dengan tenang... itukan yang kau katakan tadi sebelum tidur panjangmu. Biarkan orang lain mengatakan bahwa kau hanyalah seorang lelaki tua dengan kaki pincang dan mata buta sebelah....., tapi aku menganggapmu sebagai seorang pejuang sejati. Biarlah orang lain menganggapmu sebagai seorang laki-laki tua pedagang buah jeruk...., tapi aku menganggapmu sebagai seorang pahlawan sejati...... Tapi siapakah kau....siapakah kau pahlawan sejati.............

Agus Nugroho (Kroya, Akhir tahun 2002) ~ Untuk para pahlawan...