Don't think you can't be save...

| Selasa, Desember 22, 2009

Jam di handphoneku sudah menunjukkan pukul 17.10 WIB. Aku tahu ini memang sudah terlalu sore untuk pulang jika tidak ingin dihadang kemacetan lalu lintas. Aku segera berdiri dan lansung menuju operator untuk membayar bill pemakaian. “Berapa?” tanyaku seperti biasanya. “Tiga ribu rupiah” jawabnya tak lama setelah melihat tagihanku yang tertera di layar komputernya. Tanpa pikir panjang, aku lansung memberikan tiga ribu rupiah tersebut dan keluar dari warnet tersebut. Sambil memasang sepatu, aku selalu memperhatikan sekitar. Tidak seperti biasanya. Ternyata hanya kami berdua (aku dan temanku yang masih main di warnet) saja siswa shift pagi yang masi berada di dekat lingkungan sekolah.

Saat sudah diatas angkot (angkutan kota). Aku sedikit kecewa karena didalam angkot ini hanya ada aku dan supirnya. “Bisa tambah lama nih sampai dirumah” pikirku dalam hati karena angkot ini bisa saja ngetem di RSUP. Tak lama kemudian, Naiklah seorang nenek yang ingin pergi ke pasar. “sama saja...” pikirku lagi.

Jalan yang sempit dan ditambah dengan pusat-pusat pendidikan dan perkantoran menambah semrawutnya lalu lintas di daerah ini. Seharusnya disini dibuat jalan layang untuk menghindari kemacetan. Ingin sekali untuk melakukannya jika aku menjadi Wali Kota Padang, tetapi jabatan itu bukan merupakan cita-citaku.

Angkot ini berjalan semakin lambat karena macet. Hal yang paling aku benci dalam perjalanan. “aneh... kenapa dia (supir angkot) menggantung koplingnya di tempat dan kondisi seperti ini?” pikirku dalam hati sambil melihat kearah kaki kirinya. Tiba-tiba saja hentakan keras membuatku terkejut. Membantingku kedepan dan belakang. Nenek yang naik setelahku tadi lansung terduduk di lantai mobil saat hentakan itu terjadi. Ia pun membaca kalimat istighfar secara terus-menerus.

“Gempa” aku sedikit bergumam saat sadar bahwa ini adalah gempa. Yang pertama kali terlihat saat itu ialah air di selokan yang lumayan besar, tetapi percikan airnya tinggi sekali. Lalu aku melihat gerobak gorengan yang masih terbanting walaupun sudah rebah sembilan puluh derjat. Orang-orang terduduk di tanah. Tidak ada satupun diantara mereka yang mampu berdiri. Begitu juga para pengendara sepeda motor. Asap-asap kebakaran yang hitam pekat menyelimuti udara. Setelah melihat itu semua, aku sedikit bergimam lagi “Besar Sekali...”

Saat gempa sudah berhenti, semua orang terdiam selama beberapa detik. Lalu mereka sibuk menyelamatkan diri masing-masing tanpa terlalu mempedulikan barang bawaan mereka. Termasuk angkot yang saya tumpangi tersebut. Karena putar arah, terpaksa aku turun di tempat itu dan berjalan kaki untuk sampai dirumah. Selalu kucoba untuk menghubungi keluargaku yang ada dirumah, tetapi gagal.

Perjalanan yang harus kutempuh dengan jalan kaki lumayan jauh. Dari Fakultas Kedokteran UNAND sampai Asrama NI-AD Parak Pisang. Suara knalpot kendaraan, tangisan, dan pekikan orang-orang menambah paniknya suasana. Tetapi untung saja aku masih bisa tenang disaat-saat seperti itu.

Tak lama setelah itu, gempa dengan skala kecil kembali mengguncang

***

"Pa, isan sudah pulang” teriak kakakku (Nila Husandi, saudara perempuanku) ketika melihatku datang. “Siapa aja yang ada dirumah? Mana mama?” tanyaku. “Lihat saja. Tadi ada Da Ipo (Rivo Husandi, saudaraku yang paling tua), tapi tadi dia nyari kamu karna blum pulang. Mama kan ke Pekanbaru, baru berangkat minggu kmaren, lupa ya?”. “Eh...”. Sejenak aku terdiam, dan lansung masuk ke dalam rumah untuk melihat keadaan dan mengambil barang yang harus diselamatkan.

Rumahku berantakan. Untuk masuk kedalam harus menggunakan sendal. Lemari yang biasanya digunakan untuk menyimpan sambal dan makanan lainnya jatuh dan ditahan oleh meja makan. Dibawahnya pecahan piring, minyak, air, kuah makanan, botol-botol sirup sisa Idul Fitri bercampur aduk di lantai. Di sisi lainnya, pecahan kaca dari lampu semprong juga berserakan. Lemari televisi juga bergeser ke tengah. Lantai kamarku penuh dengan kertas-kertas. Dan kipas angin yang berada diatas lemari jatuh kebawah.

Aku sempat merasa tidak yakin bahwa semuanya akan kembali seperti semula secepat ini. Pagar rumahku runtuh. Dinding belakang juga bernasib sama. Alhasil, beberapa ruangan dirumahku tidak memiliki pembatas dengan pekarangan tetangga yang berada dibelakan rumahku. Semuanya lepas dan tak berbatas. Debu pasir dari bangunan belanda yang roboh di belakang rumahku masuk kedalam rumah. Kotor sekali...

0 comment(s):

Posting Komentar